Putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana diatur dalam Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum.
Hal ini disampaikan Palguna menanggapi sejumlah pemberitaan media yang menyebut aturan tersebut baru berlaku pada Pemilu 2024.
"Tidak benar bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 bertanggal 23 Juli 2018 baru mulai berlaku untuk Pemilu 2024," kata Palguna di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (20/9).
Palguna mengatakan karena Putusan tersebut diucapkan pada tanggal 23 Juli 2018, maka sejak saat itulah Putusan MK tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku.
Terkait dengan penyelenggaraan pemilu 2019, Palguna juga menyampaikan bahwa MK putusan ini menjadi landasan hukum bagi penyelenggara pemilu dalam membuat aturan.
"Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 dapat dijadikan alasan untuk membatalkan hasil perolehan suara calon dimaksud," kata Palguna.
Palguna juga menyampaikan bahwa aturan larangan bagi pengurus parpol menjadi anggota DPD mulai berlaku tanpa terlebih dahulu harus dilakukan perubahan terhadap undang-undang terkait, yakni UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Jika penyelenggara negara menilai perlu melakukan perubahan pada undang-undang tersebut maka tetap bisa dilakukan. Namun, hal ini tidak mengubah keberlakuan putusan MK.
"Putusan MK derajatnya setara dengan undang-undang, karena itulah MK disebut negatif legislator. Oleh karena itu di dalam Undang-undang MK pasal 47 ditegaskan bahwa putusan MK memoeroleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam pleno MK yang terbuka untuk umum," kata Palguna.
Sementara itu, kuasa hukum Oesman Sapta Oedang (OSO), Patra M Zen menilai putusan MK tidak bisa dijadikan landasan bagi KPU dalam membuat aturan pencalonan anggota DPD dengan disertai surat pengunduran diri dari partai politik.
Sebab menurut dia, aturan itu baru bisa berlaku pada pemilu 2024. Berdasarkan undang-undang, imbuhnya, dalam menyusun norma baru, putusan MK harus ditindaklanjuti dengan peraturan perundangan terlebih dulu.
"Siapa yang membuat perundangan itu? Yaitu DPR dan Pemerintah, bukan KPU," kata Patra di kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (20/9).
Pihaknya, kata dia, juga sudah mengajukan gugatan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terkait penerbitan surat pernyataan pengundura diri dari parpol sebagai salah satu syarat pencalonan anggota legislatif yang diterbitkan KPU pada 10 September 2018.
Patra mengklaim, gugatan yang diajukan dinilai telah memenuhi syarat formil dan materiil oleh Bawaslu. Sehingga akan ditindaklanjuti ke tahap selanjutnya, yakni pemeriksaan substansi permohonan.
"Hari ini dalam Putusan pendahuluan Bawaslu dengan tegas menyatakan permohonan secara formil dan materiil diterima dan akan dilanjutkan pemeriksaan pada senin depan, pukul 16.00 WIB," kata dia.
Ia pun berharap, KPU menunda penetapan caleg bagi kliennya karena pihaknya telah mengajukan gugatan ke Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) terkait persyaratan surat pernyataan pengunduran diri dari kepengurusan parpol jika ingin menjadi calon anggota legislatif.
"Jadi kalau ada perkara, semestinya dipertimbangkan. Tidak langsung diputuskan. Kenapa, karena sudah masuk sengketa. Tidak boleh. Jadi dipertimbangkan dulu," kata Patra.
OSO merupakan ketua Umum Partai Hanura. Dalam pemilu 2019 ia kembali mendaftarkan diri sebagai salah satu calon anggota DPD. Saat ini OSO juga menjabat sebagai ketua DPD. (DAL)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180920144225-12-331756/mk-tegaskan-pengurus-parpol-dilarang-jadi-dpd-di-pemilu-2019/
No comments:
Post a Comment